Tuesday, April 17, 2007

Copet dan rasa memiliki

Aku masih bregelayut di pintu belakang bus 80 coret yang melenggang penuh sesak menuju kampus. Sepintas aku melihat sebuah tangan dengan paksa merogoh kantong seorang teman. “Copet!” peringatku kepadanya sambil menghalangi tangan copet yang buru-buru ditarik dari saku korbannya. Aku hanya banyak memperingatkan teman teman Indonesia yang baru masuk ke dalam bus.

Tak berapa lama, seorang temanku yang bernama sultan berhasil naik dalam bus dan langsung mengeluarkan uang dari kantongnya untuk membayar karcis. Beberapa saat kemudaian, sang copet yang belum terbukti buru-buru turun dari bus dan menghentikan taksi. “Hp ku kecopetan,” suara sultan memecah suasana. Tak ada keributan. Hanya ada saling pandang dan dilanjutkan dengan aktivitas masing-masing. Membaca buku atau kitab suci. Padahal sekitar 70% penumpang adalah orang indonesia.

Suasana lain ketika aku naik bus dengan nomor yang sama tapi beda penumpang. Gelap rasanya siang ini karena bus sebagian besar ditumpangi adalah pengungsi afrika yang kesemuanya berkulit hitam. Dengan terkantuk-kantuk aku mendengar sebuah teriakan, “harami!” Entah kenapa dengan serta merta banyak orang hitam ribut dan bus pun berhenti. Banyak dari mereka keluar bus dan ‘bikin perhitungan’ dengan sang copet. Walhasil, ia pulang dengan babak belur.

Indonesia memang kaya, ada puluhan bahasa dan ratusan suku yang tersebar luas menempati sekitar tujuh belas ribu pulau yang terbentang dari sabang hingga merauke. Masyarkat indonesia di negeri ini pun tak kalah hebat, ada 16 kekeluargaan yang masing-masing membawa budaya yang berbeda. Partai-partai politik yang mengatas namakan ‘keluarga’ dan puluhan organisasi yang membentuk komunitas sendiri. Setiap tahun ada ratusan mahasiswa baru datang menimba ilmu mengikuti jejak leluhurnya, baik via depag ataupun terjun bebas yang menyisakan kasus klasik berupa penipuan. Tanpa penyelesaian.

Nasionalisme mahasiswa indonesia yang terpelajar,seakan perlu dipertanyakan. Dimanakah mereka ketika si ade kehilangan hp nya. Di manakah mereka ketika TKW, bahkan mahasiswi kita dilecehkan oleh pemuda negeri ini? Ratusan pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab, akan tetapi lebih membutuhkan tindakan. Tindakan kesadaran bahwa kita adalah bangsa indonesia.

Dengan keringat dan darah, pejuang bangsa membangun kebebasan dalam persatuan, menyatakannya dalam satu sumpah. Berbangsa satu, berbahasa satu dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, yang pada akhirnya melahirkan sebuah bangsa, Bangsa Indonesia.

Namun, apakah setelah puluhan tahun kita merdeka, mengenyam kebebasan dan kemakmuran lantas kita kembali terpecah hanya karena dalam diri kita ada sedikit yang berbeda? Perbedaan tempat tinggal, lingkungan, dan latar belakang yang sebenarnya merupakan aset kekayaan yang tiada tara.

Namun, di tengah krisis persatuan dan berkurangnya rasa memiliki antara sesama bangsa indonesia, masih ada kawan-kawan yang tergugah hatinya untuk menyadarkan masyarakat elit terdidik ini. Almamater days yang baru saja digelar, dan aneka ‘cup’ yang biasanya diakhiri dengan dendam suporter, kini terlihat lebih rapi. Walaupun masih ada ‘riak kecil’ yang mewarnainya.

Puluhan musibah yang berawal dari tsunami di aceh seakan mengingatkan kita bahwa manusia indonesia perlu sedikit pelajaran agar mengerti dan tahu bagaimana menghargai sebuah persatuan. Bagaimana merasakan sebuah kehilangan dan belajar bagaimana menyikapinya.

Kasus kita yang terlalu cuek dengan keberadaan bangsa kita di sini mungkin akan berakibat pada perkembangbiakan copet dan pelecehan baru dari putera kinanah. Kasus penipuan maba yang ditutup dan yang lainnya mungkin akan menelurkan bibit-bibit penjajah di negeri kita. Adalah sesuatu yang lucu jika kita sebagai masyarakat elit terdidik menjadi kompeni pribumi, yang hanya bisa memakan darah keluarga sendiri. Sungguh memalukan.

Banyak hal yang harus kita pikirkan, namun lebih banyak lagi yang perlu dilaksanakan. Pembenahan yang kita lakukan di sana sini tidak akan berhasil jika tidak kita mulai dari diri kita sendiri. Persatuan bangsa menuju perbaikan masyarakat adil makmur sejahtera, sebobrok apapun bangsa kita saat ini, adalah tujuan mulia yang layak diperjuangkan.

Saturday, March 31, 2007

sejuk udara pagi segar terasa
sinar mentari hangat meyapa
pintu terbuka
ku langkahkan kaki dengan sejuta doa

bismillah...
aku berangkat sekolah
semilyar harapan...
semangat serta cita cita...

ku belajar...
bukan agar tenar
tapi belajar...
karena aku akan mengajar...